Oleh : Inayah
Ibu Rumah Tangga
Selama Juni 2020 jumlah perceraian di Kabupaten Bandung meningkat tajam hingga mencapai 1102 perceraian. Menurut Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Soreang, Kabupaten Bandung, Ahmad Sadikin, bahwa kasus perceraian di Kabupaten Bandung mengalami kenaikan hingga sekitar 40 persen. Yang sebelumnya rata- rata hanya 700 perceraian. (Rabu, 8/7/2020)
Ahmad mengungkapkan bahwa peningkatan angka perceraian diakibatkan mewabahnya pandemi Covid-19. Rata-rata dari kurang tanggung jawabnya para suami tehadap nafkah keluarga, ‘ kalau karena KDRT sedikit di bawah 5 persen. Berbeda kasusnya sebelum pandemik mewabah tidak terlalu signifikan peningkatanya.
Pernikahan dan perwujudannya merupakan hasrat alami manusia yang terkait dengan naluri untuk melestarikan keturunan. Pada dasarnya pernikahan atau kehidupan rumah tangga adalah memberi ketenangan kepada kedua belah pihak antara suami istri. Sehingga terjalin persahabatan yang penuh kebahagiaan dan ketenangan. Serta dipenuhi dengan kasih sayang antara pasangan suami istri. Karena Allah telah menjadikan pernikahan sebagai tempat mendapatkan ketenangan bagi suami istri, sebagaimana firman-Nya,
‘’Dan di antara tanda-tanda Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kau cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikannya di antaramu kecintaan dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (TQS. ar-Rum (30): 21)
Rumah tangga yang ideal, mawaddah wa rahmah, penuh dengan ketenangan dan kasih sayang di antara anggota keluarga merupakan dambaan setiap insan. Namun demikian pada faktanya kadang kala keinginan sulit untuk diwujudkan, bahkan yang terjadi adalah rumah tangga yang berantakan, penuh dengan kebencian. Seorang istri merasa sangat diatur suaminya, pun sebaliknya seorang suami merasa tidak dihargai istri, sehingga kehidupan rumah tangga yang harmonis hanya angan-angan belaka.
Fakta perceraian yang terjadi di masyarakat memang bukanlah merupakan hal yang dilarang dalam agama Islam, sekalipun ia merupakan aktivitas yang dibenci oleh Allah Swt. Sabda Nabi saw.,
‘’Allah tidak menjadikan sesuatu yang halal, yang lebih dibenci oleh-Nya dari talak.’’
Dan lagi,
"Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah ialah talak." (HR. Abu Dawud)
Dari nash-nash di atas jelas bahwa perceraian bukanlah hal yang terlarang, karena memang secara fakta pun biduk rumah tangga tidak selalu tenang dan harmonis. Terkadang ada riak-riak kecil yang mengganggu. Mulai dari angin sepoi-sepoi bahkan badai besar pun sangat mungkin menerpa biduk rumah tangga. Siapa pun bahkan akan menghancurkan biduk tersebut sampai terjadi perceraian. Hanya saja jika kasus perceraian yang tejadi khususnya di Kabupaten Bandung yang mencapai 40 persen dari jumlah pernikahan, jelas ini tidak bisa dikatakan ‘’wajar’’ atau biasa. Tetapi luar biasa bahkan bisa dikatakan fantastis.
Pernikahan seolah tidak lagi dianggap sesuatu yang bernilai ibadah. Angka perceraian di Indonesia secara umum mengalami peningkatan, dari tahun ke tahun semakin meningkat. Apalagi di masa pandemik seperti ini. Dan yang melatarbelakangi adalah faktor ekonomi yang dominan. Di samping KDRT dan perselingkuhan yang menjadi penyebab gugatan cerai. Artinya cerai talak lebih rendah persentasenya dari gugat cerai. Pergeseran tren perceraian beberapa tahun belakangan yang dominan diajukan pihak istri (cerai gugat) menimbulkan tanda tanya besar dan merupakan hal yang harus menjadi perhatian kita semua.
Mengapa dan ada apa? Karena selama ini, kaum perempuan malah tidak mau diceraikan, walau ia sudah babak belur akibat perlakuan suami yang melakukan KDRT. Ketakutan perempuan lebih disebabkan oleh ketidasiapan secara ekonomi, sosial, dan psikologi. Lazimnya perempuan merasa malu menyandang status janda. Apalagi jika sudah memiliki anak.
Belum lagi beratnya konsekuensi menjadi orangtua tunggal, karena umumnya anak-anak lebih dekat pada ibunya. Maka apabila perempuan malah lebih banyak menuntut cerai, pasti ada penyebabnya.
Melihat kasus perceraian yang angkanya makin meningkat, maka pengadilan agama Kabupaten Bandung khususnya melakukan serangkaian proses mediasi bagi pasangan suami istri, meski upaya tersebut minim membuah hasil.
Beberapa pihak menilai bahwa permasalahan ini muncul karena pandemik, sehingga menyebabkan munculnya tekanan kepada para ibu, anak-anak sekolah di rumah, bahkan ada suami yang akhirnya di-PHK sehingga mengharuskan para ibu berpikir keras mengelola keuangan. Hingga tak sedikit kaum ibu yang terpaksa bekerja.
Jika kita telisik lebih mendalam, maka faktor utama penyebab timgginya angka perceraian dan sebagian besar karena gugat cerai adalah tidak diterapkanya Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Termasuk kehidupan rumah tangga dan keluarganya.
Artinya karena dalam kehidupan kita diterapkan sistem kapitalis-sekuler-liberal. Maka dengan mengusung kebebasan bertingkah laku salah satunya sehingga banyak istri yang gugat cerai. Pun karena para suami yang tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga diakibatkan PHK. Karena banyak perusahaan gulung tikar, tidak punya modal untuk mengupah karyawanya. Ini diakibatkan oleh pengelolaan sumber daya alam yang diserahkan pada asing dan aseng. Yang menyebabkan perputaran modal hanya pada orang-orang kaya saja yaitu para pemilik modal.
Bagaimana sebenarnya Islam memandang dalam persoalan ini, siapa yang bertanggung jawab dalam nafkah keluarga? Dan bagaimana pula solusi Islam dalam mengatasi maraknya perceraian ini?
Syariah Islam mengatur bahwa yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan dasar anggota kelurganya adalah seorang ayah atau suami. Dia wajib memenuhi semua kebutuhan setiap anggota keluarganya, mulai dari makanan, pakaian dan tempat tinggal. Pada prinsipnya, wajib seorang suami untuk memberi nafkah pada istri dan anak-anaknya dengan cara yang ma’ruf. Suamilah yang menafkahi, sesuai tuntunan Allah Swt. (Lihat QS. an-Nisa (4): 34).
Dan firman Allah Swt.,
“Dan kewajiban ayah yang menanggug nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut, seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.”(TQS al-Baqarah (2): 233)
Nafkah ini meliputi makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal serta semua yang dibutuhkan oleh istri dan anak-anaknya.
Selain makanan, pakaian, tempat tinggal terdapat juga kebutuhan mendasar lainnya yang merupakan kebutuhan asasi setiap manusia yaitu kebutuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Syariah Islam mengatur bahwa pemenuhan akan kebutuhan ini adalah tanggung jawab negara. Negara wajib menyediakan semua itu secara gratis dan berkualitas. Dalilnya adalah Hadis Nabi Muhammad saw.,
‘’Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.’’ (HR. Muslim)
Kemudian pada masa peradaban Islam, Khalifah Umar bin al- Khaththab ra. membayar gaji guru, muazin dan imam masjid dari baitul mall.
Dalam situasi normal, Negara Khilafah memastikan semua anggota keluarga mendapatkan hak dasar akan semua kebutuhanya. Dengan mekanisme mewajibkan laki-laki untuk bekerja. Negara Khilafah akan memberikan perangkat yang dibutuhkan agar tidak ada laki-laki mukallaf yang menjadi pengangguran.
Adapun ketika kondisi khusus yaitu terdapat seorang janda, maka kewajiban nafkahnya adalah ke saudara laki-laki. Apabila mereka tidak mampu mencari nafkah karena sudah lanjut usia atau cacat, maka mereka mendapatkan santunan dari negara sebagai nafkah mereka.
Apalagi saat wabah seperti ini, kebutuhan dipenuhi oleh Negara Khilafah sampai wabah berakhir.
Syariah Islam juga mampu mengatasi tatkala biduk rumah tangga atau sebuah pernikahan sudah tidak lagi bisa dipertahankan dan perpisahan menjadi jalan keluarnya. Maka sesungguhnya Islam pun telah mengatur dengan rinci.
Syekh Taqiyyuddin an-Nabhani, dalam kitab an-Nidzamul Ijtima’iy menegaskan bahwa Islam telah menjadikan cerai berada di tangan suami. Banyak nash-nash yang menjelaskan masalah perceraian (talak) ini, termasuk tata caranya, antara lain (lihat QS al-Baqarah (2): 229-230).
Firman Allah Swt.,
"Maka rujukilah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik pula."
Dan Islam pun memerintahkan agar para suami menempuh segala langkah untuk menyelesaikan berbagai persoalan sehingga terhindar dari perceraian.
Maka jelaslah bahwa penyebab marak perceraian diakibatkan oleh penerapan sistem kapitalis sekuler. Dimana negara tidak mempedulikan persoalan kehidupan rakyatnya. Maka dari itu sudah jelas solusinya adalah kembali menerapkan aturan-aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Yaitu dengan tegaknya negara khilafah. sehingga masalah perceraian pun mampu diatasi. Karena peran negara yang begitu bertanggung jawab atas rakyatnya. Dan ketenangan dalam pernikahan akan dapat terwujud. Wallahu a’lam bishshawab.